Thursday, January 4, 2007

Adab Bepergian Para Pengamal Tasawuf



وَقَالَ إنّى ذاهِبٌ إلى ربّى سَيَهْدِينِ - الصافات: 99





Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Aku pergi menghadap Tuhanku, dan dia akan memberi petunjuk kepadaku (Ashshoffaat:99)

Dalam setiap kesempatan sering­kali kita disapa oleh seorang teman/saudara: “Mau pergi kemana?” biasanya kita jawab: “mau pergi ke kantor”, “pergi ke pasar”, “pergi ke Mall” dll. Jawaban kita terbatas hanya menyebutkan tempat yang akan kita dituju tanpa menyebutkan keper­luan dan maksud tujuannya. Kadang­kala menybutkan keperluan setelah ditanya kembali: “Ngapain?” lalu kita jawab: “mau kerja”, “mau beli barang”, “Mau kondangan” dan seterusnya.

Menurut kacamata para pengamal tasa­wuf jawaban yang benar adalah yang kedua. Jadi jika ditanya mau pergi kema­na? Jawaban yang benar adalah (misalnya): “Mau silaturahmi ke Menteng!”, “Mau menghadiri penga­jian di Kali Pasir”, “Mau membeli sayur di Pasar”, atau “Mau menjemput tamu di Bandara!” dst. Inti dari jawab­an terse­but adalah sebisa mung­kin hindari kata “pergi”. Pertanyaan yang mesti dijawab adalah mengapa kata “pergi” jangan di­gu­nakan. Apakah dasar dari tun­tunan ini?

Pergi Menurut Nabi Ibrahim a.s.
Dari informasi ayat di atas (Ashoffat:99) Allah mengabarkan bah­wa Nabi Ibrahim as begitu pasrahnya kepada Allah se­hing­ga kata "pergi" yang digunakan di­sambung dengan kata Rabbi. Sesung­guhnya Aku pergi meng­­­­­hadap kepada Tuhanku, dan dia akan memberi petun­juk kepadaku." Menu­rut Ibnu Katsir, ayat ini berkaitan dengan pertolongan Allah kepada Nabi Ibrahim atas kejahat­an kaumnya dan atas mantapnya ke­iman­an nabi setelah melihat bukti-bukti kekua­saan-Nya. Sedangkan menurut para penafsir lain seperti dalam kitab tafsir Al Qurthubi, ucap­an kemantapan iman Nabi Ibrahim as itu terucap ketika mau ma­suk ke dalam api yang akan membakar­nya. Kata "pergi" menurut tafsir ini mengandung dua penger­tian: pertama, Sesung­guh­nya aku pergi me­nemui keten­­tuan Allah. Kedua, Se­sung­guhnya aku ini mati. Sebab beliau mem­ba­yang­kan akan pergi menemui kema­tian saat berada dalam api. Namun pa­da akhir­nya pertolongan Allah me­nye­­la­mat­­kan­ dari kobaran Api. Firman-Nya:

قل يانار كونى بردا وسلاما عـلى إبراهيم

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim".
(Al Anbiyaa: 69)

Dari uraian tafsir tersebut tampaknya, ungkapan kata "pergi" dipergunakan nabi Ibrahim as untuk menemui Allah. Pelajaran yang dapat diambil dari dho­hir ayat tersebut, kata "pergi" sebaik­nya digunakan untuk menghadap Allah de­ngan penuh kepasrahan yang bulat se­hing­ga seolah-olah siap untuk tidak kembali ke tempat asalnya. Jadi kata "pergi" yang dipergunakan oleh nabi Ibra­him as dalam ayat tersebut menu­rut Al Qurtubi adalah asal mula orang yang pertama kali ber uzlah dan berhij­rah. Uzlah dan hijrah hanya se­mata-mata Lillaahi ta'alaa dan boleh jadi kata "pergi" di sini ini siap secara bulat menuju ke alam akherat dan siap untuk tidak kembali lagi.

Jika kata "pergi" yang digunakan untuk bisa kembali lagi maka yang digunakan bukan dengan kata "pergi" namun ber­pindah tempat karena masih dalam ling­kup permu­kaan bumi. Istilah yang dipergunakan Al Qur'an adalah "ber­te­bar­an di muka bumi" sebagaima­na firman Allah:
فاذا قضية الصلوة فانتشروا فى الارض
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; (Al Jumu'ah: 10)

Singkatnya, jika kata "pergi" yang di­per­gu­na­kan untuk menuju ke tem­pat-tem­pat biasa, maka ung­kapan kata "pergi" kurang tepat diper­guna­kan. Se­bab me­nu­rut ilmu tata surya, ujud bumi diban­ding benda-benda langit sangat kecil sekali.

Pergi Menurut Nabi saw.
Dari informasi hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, yang ada di hampir semua kitab-kitab perawi hadits, ter­nya­ta ungkapan "pergi" yang dipergu­nakan untuk kehi­dupan di dunia hanya dibatasi untuk tiga tempat saja: perta­ma jika pergi ke Masjid Nabawi (Madi­nah); kedua, pergi ke Masjidil Haram (Mek­kah); dan ketiga, pergi ke Masjidil Aqsa (Palesti­na). Ketiga tempat ini me­nu­rut penda­pat pensyarah hadits dise­ ka­rena kemuliaanya. Disamping itu, masjid di Makkah dan Madinah, adalah tempat tu­juan orang ketika berhaji dan masjid ketiga pernah dijadikan qiblat shalat orang-orang terdahulu. Bunyi teks haditsnya sbb:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال: يبلغ به صلى الله عليه وسلم لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: مسجدي هذا ومسجد الحرام ومسجد الأقصى. - رواه البخاري ومسلم
Dari Abi Hurairah ra berkata: Rasulullah saw memberi pelajaran bahwa janganlah engkau bepergian kecuali kepada tiga tempat: masjidku ini, masjidil haram dan masjidil aqsa. (HR. Buchori – Muslim)

Menurut penjelas an Fathul Bari, maksud dari kalimat laa tusyaddu ar-rihaala adalah an-nahyu 'anissafari ilaa ghoirihaa larangan pergi kecuali ke tiga tempat yang disebut Nabi saw. Kata Illa (kecuali) dalam hadits tersebut dikenal dalam tata bahasa dengan istisna mufar­rogh. Dengan adanya kata illa, diguna­kan untuk menghususkan suatu pernya­taan dari kalimat yang bersifat umum. Karena itu maksud hadits nabi tersebut adalah: ”Janganlah pergi ke tiap-tiap tempat, atau larangan pergi ke seluruh tempat selain yang ditunjuk oleh Nabi. Ketiga tempat yang ditunjuk nabi itu ada tiga: Masjid-ku, Masjid Haram dan Masjidil Aqsa. Ketiga tempat ini men­dapatkan keisti­me­waan khusus dan karenanya menjadi obyek bepergian yang dibenarkan syariat.
Masjidil Haram Menurut kete­rangan Kitab Tuhfatul Ahwadi dan Fathul Baari, ”Haram” berarti ”muhar­ram” (yang dimulya­kan) seperti ungkapan ”kitaab” diartikan ”maktuub” (yang dibaca). Me­nurut para pensyarah ha­dits, masjid ini memiliki dikhususkan karena: Semua yang ada di dalamnya di­mul­­yakan; Ke­uta­­maan me­nger­jakan sha­lat di mas­jid ini melebihi tempat lain. Terdapat ka’bah di dalamnya. Me­nu­rut At Tabari dan Nasai yang diutama­kan tetap saja masjidnya, karena semua yang ada di dalamnya merupakan masjid.
Masjid Nabi (Madinah) Masjid ini khusus karena rasul mengatakan dalam riwayat Abi Sai’d meng­gunakan kata Masjidii (masjidku). Me­ng­isya­ratkan kepada keagungan Rasulullah saw. Masjidil Aqsa (Baitil Muqaddas, Palestina) Disebut masjid Aqsa karena jauh masanya dari Masjidil Haram atau menurut Imam Al Zamakh­sari dikarena­kan tidak ada masjid di belakangnya hingga saat ini. Ada juga yang berpen­dapat disebut aqsa disebab­kan masjid haram jauh dari masjid nabawi dan baitul muqaddas lebih jauh lagi. Disam­ping itu ketiga masjid ini merupakan masjid para nabi. Masdjil ha­ram dijadi­kan sebagai tujuan pergi haji dan kiblat shalat, masjid aqsa per­nah dijadikan kiblat shalat oleh umat sebelumnya. Sedangkan masjid Madinah merupakan peletak dasar ketaq­wa­an, yang disebut oleh Al qur’an sebagai ussisa ’alattaqwa.

Hukum Bepergian
Kitab Aunil Ma’bud menjelaskan sebagi­an ahli ilmu berpen­dapat bahwa tidak sah i’tikaf kecuali di salah satu dari ketiga masjid tersebut. Bahkan menurut Imam Abu Muham­mad Al Juwaini: “Haram hu­kum­nya pergi ke tempat lain kecuali me­nu­ju tiga masjid ini, karena mengamal­kan dhohir hadits.”
Menurut Imam Qustolani, para ulama berbeda pendapat jika pergi ke tempat-tempat lain seperti berziarah ke orang-orang shalih yang masih hidup/ mening­gal, dan tempat-tempat yang baik, karena hendak meng­ambil tabarruk. Namun Imam Juwaini tetap meng­ha­ram­­kan karena dhohir hadits. Yang Lebih shohih, menurut pandangan Imam Qustolani adalah pendapat Qodi Al Husain dan Qodi Iyadl Al Syafi’i hukumnya dibolehkan. Namun penga­rang Kitab Tuhfatul Ahwadzi, tidak ada dalil kebo­leh­an, perten­tangan hadits pun tetap tidak berdasar. Ungkapan لا تشد tetap menun­jukan kejelasan haramnya. Pengecualian hanya berlaku bagi orang yang bernadzar meski tanpa dalil. Wallahu’alam (MK)


Majelis Dzikir TQN Kalipasir, Senin, 17 April 2006


Sumber:
Tafsir Al Qurthubi, Ibnu Katsir, Fathul Bari, Aunul Ma’bud, Tuhfatul Ahwadzi, Shoheh Bukhori. Shoheh Muslim, Sunan At Turmudzi.

No comments: