Tuesday, January 30, 2007

Berkah Bagaimana Menyikapinya


بسم الله الرحمن الرحيم رحمتُ الله وبركاته عليكم أهلَ البيت…. هود - 73
“… rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (Hud: 73)


Definisi Berkah
Dalam ucapan salam ada kalimah “wabarakatuh” yang dimaksud adalah mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan. Kamus al Munawwir memberikan definisi “berkah” diambil dari “albarkatu” diartikan “an ni’mah” (kenikmatan); “assa’adah” (kebahagiaan); “annamaau, azziyadatu” (penambahan). Secara bahasa bisa jadi berkah adalah suatu kenikmatan atau suatu kebahagiaan atau sebuah penambahan.

Secara istilakhi, bisa diambil pendapat qaul ulama seperti dalam buku “mafahim anta shohhah” :

ثبوت الخير الالهي فى الشيء

Maksudnya kurang lebih adalah berlakunya suatu kebaikan yang bersifat Ketuhanan pada sesuatu. Atau dalam arti lain, kebaikan yang bersumber dari Tuhan yang ada pada sesuatu.

Tradisi Ngalap Berkah
Ngalap berkah atau dalam bahasa arabnya, “tabarrukan” yang diartikan dengan simbol mengambil berkah. Gambaran mengambil berkah yang sering kita temui dalam ucapan-ucapan misalnya:

Orang mendatangi salah satu kyai kemudian mohon didoakan. Alasannya mengambil “berkah” dari kyai tersebut. (apakah ini sesuai dengan definisi di atas)
Orang yang menziarahi makam para wali atau orang yang dianggap “kramat” kemudian seringkali ditemui diantara mereka ada yang mengusap-usap kuburan, mencium nisan atau benda-benda yang dianggap “kramat” seperti air tempat wudu, atau misalnya sumur “muara bengkeng” di Sindang Laut yang kerap didatangi oleh para pendatang yang ingin mendapatkan airnya, katanya ini adalah “air berkah”. (betulkah inipun sesuai dengan definisi di atas)
Dua hal ini cukup sebagai contoh tradisi yang sering ditemui misalnya dalam moment Muludan di Kraton Cirebon atau tradisi berziarah di Makam Sunan Gunung Jati.

Di masyarakat pesantren, ajaran tentang tabarruk tidak mengenal istilah mencium nisan, ngelus-ngelus benda yang dianggap kramat, atau bahkan mengklaim kubuuran ini gampang dimintai atau tidak. Jika, ada terjadi seperti ini, biasanya itu dikemukakan oleh “the other” dan kebiasaan menggosok-gosok serta mensakralkan kuburan dan benda-benda yang dikalim kramat biasanya, dipraktekkan oleh “the other” (orang di luar Buntet Pesantren). Hal ini bisa dibuktikan dari para alumni santri yang belajar di pesantren Buntet, bahwa para kyai tidak mengajarkan hal-hal seperti itu. Paling yang diajarkan adalah sebatas anjuran, bukan kewajiban untuk melakukan ziarah kepada para ulama/para wali baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dengan bersalaman atau kepada para ulama/wali yang sudah meninggal dengan menghatamkan Al Qur’an dan mendoakannya serta membaca puji-pujian kepada Allah. Setelah itu diakhiri dengan doa yang isinya mirip dengan doa memohon ampunan kepada Allah untuk orang alim/para wali. Dalam kaitan inilah seringkali kita mengakui tindakan terakhir ini sebagai bagian dari upaya mencari “berkah”

Gambaran Keberkahan
Keberkahan dalam bahasa modern bisa diartikan dengan sinergis. Berbeda dengan energi, ketika dipakai akan habis sementara sinergis merupakan suatu proses energisasi yang berkelanjutan (unlimit). Gambaran sinergis bisa diilustrasikan kepada sinar matahari. Sebagaimana dalam pelajaran Fisikan di MANU, H. Abu Bakar Sidqi, menerangkan seingat saya, beliau menjelaskan bahwa: Betapa hebatnya ia, ketika memancarkan cahaya yang dihasilkan dari “reaksi fusi nuklir” yang dahsyat sehingga menghasilkan korona dan cahaya yang memancar ke segenap galaksi hingga ke bagian kecil dari planet yaitu bumi. Dari cahaya ini kemudian mengambil tempat pada daun-daun hijau dalam proses fotosintesis. Dari reaksi fotosintesis, menghasil glukosa dan tepung serta gas oksidasi berupa oksigen.

Dengan sebab energi oksigen dari tumbuhan yang dikeluarkan oleh daun melalui stomata, ia dibutuhkan untuk pernafasan manusia dan hewan. Sedangkan energi yang tersimpan dalam pohon berupa buah-buahan dinikmati oleh hewan dan manusia kembali untuk menjaga kekekalan energi protein ke tubuh-tubuh mereka baik berupa beras, buah, atau sayuran.
Prof. Dr. Quraisy Shihab dalam bukunya, Mu’jizat Al Qur’an menjelaskan makna fotosintesis ini ketika menjelaskan surat Yasin “Alladzii ja’ala lakum minassyajaril akhdori nara” ( Allah yang menciptakan kamu dari pohon hijau yang dibakar). Pohon hijau yang dibakar menurut penelitian modern, kata Quraisy adalah proses fotosintesis. Bayangkan pemeliharaan makhluk yang bekelanjutan hingga akhir zaman diterangkan dalam separo ayat 78 surat Yasin.

Gambaran keberkahan lahiriah bisa digambarkan pada soal-soal tersebut. Namun bagaimana jika non materi seperti mengalirnya energi kebaikan dan kemuliaan pada seseorang. Masih ingat dalam benak saya, ketika salah seorang kyai pernah menerangkan masalah tabarruk dalam suatu pengajian, yang menurut saya masuk akal. Menurutnya, di dalam darahnya orang yang selalu berdzikir kepada Allah, niscaya mengalir suatu aura kebaikan. Dengan mendekati aura orang tersebut niscaya, akan mengalir aura-aura kebaikan dalam dirinya. Dengan bersalaman maka pengaruh kebaikan itu akan mengalir. Sebagaimaan energi listrik yang ada dalam HP ketika di charge, maka ia akan menghasilkan energi untuk menghidupkan HP tersebut. Karena itu menurutnya, dengan sering-sering mendatangi para kyai yang ‘aliim (doble i) nasehat lahiriyah dan pengaruh non materi akan merasuk ke dalam tubuh kita sehingga kecenderungan kita akan mengarah kepada kebaikan.

Rasulullah saw bersabda: “dekatilah penjual minyak sehingga anda akan terkena wanginya, namun jangan tukang abu, karena akan terkena abunya.

Tentu saja sulit dibuktikan secara kimia dan tekhnis masalah aura ini, tapi dunia modern sekarang telah mengakui aneka macam warna aura pada sifat dan karakter seseorang.

Di Mana Letak Keberkahan
Secara pasti tidak tahu, hanya saja sekelumit ayat di bawah ini bisa menggambarkan bagaimana keberkahan itu bersemi. Ayat 54 surat Al Maidah: ” niscaya Allah akan datangkan sekelompokkaum dimana Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”

فسوف يأتى الله بقوم يحبهم ويحبونه

Allah mencintai mereka (kaum) itu dan kaum itu pun mencintai Allah. Jadi dengan landasan cinta kepada Allah, kaum tersebut mengalir sebuah “tsubutul khoril ilahiy fisysyai-I” menetapnya kebaikan yang berasal dari Allah karena Allah mencintainya dan karena mereka mencitai Allah. Siapakah mereka itu yang mencintai Alllah dan Allah pun mencintai mereka.

Kemudian bisa diikuti makna ayat rakhmat dan berkah sebagaimana ayat 73 surat Hud di awal artikel ini “… rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.

Dalam ayat 73 Surat Hud di atas Imam Ibnu Katsir dalam bukunya, menafsiri makna “wabarakatuh sebagai suatu ungkapan pujian karena kebaikan yang mendalam terhadap Rasulullah saw dan ahlul bait” kutipan selengkapnya sebagai berikut:

“رحمة الله وبركاته عليكم أهل البيت إنه حميد مجيد” أي هو الحميد في جميع أفعاله وأقواله محمود ممجد في صفاته وذاته ولهذا ثبت في الصحيحين أنهم قالوا: قد علمنا السلام عليك فكيف الصلاة عليك يا رسول الله ؟ قال “قولوا اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وآل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد“.

Dari penafsiran itu, Ibnu Katsir mengartikan : “… rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (Hud: 73) Maksudnya adalah sebuah pujian terhadap segala perbuatan dan perkataan dan sifat-sifat Rasulullah saw. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim para sahbat bertanya, bagaimana kami bershalawat kepada mu Ya Rasulullah? Dijawab: hendaklah engkau bershalawat dengan ungkapan: Allahumma dst.

Sementara Imam Al Qurthubi dalam bukunya, menjelaskan posisi berkah dinisbatkan kepada keluarga Ibrahim. Kutipannya sebagai berikut:

_ والبركة النمو والزيادة; ومن تلك البركات أن جميع الأنبياء والمرسلين كانوا في ولد إبراهيم وسارة.

Berkah diartikan dengan “annamuwu” dalam kamus kata “annamuwu” diartikan banyak salah satunya, “asnadahu” artinya dinisbatkan atau boleh juga diartikan “azziyadah” bertambah/bertumbuh. Salah satu bukti keberkahan dari para nabi dan rasul dikarenakan nisbat mereka disanadkan kepada nabi Ibrahim dan siti Sarah as. Nabi Ibrahim as dijuluki Kholilullah.

Singkatnya, jika benar asumsi penulis bahwa keberkahan dan rakhmat dicurahkan kepada Rasululalh saw dan keluarganya, sebagaimana ayat di atas, ini berarti maka, kebiasaan para tamu yang seringkali mendatangi para habaib (habaib dipercaya sebagai keluarga Siti Fatimah binti Rasulullah saw) adalah upaya memperoleh keberkahan. Tentu habaib dan turunannya yang selalu dzakkara ilallah bighoiril qath’i (always dzikrullah). Dengan adanya allways dzikrullah, maka mereka layak untuk didekati dan dimintai nasehat karena pasti Allah mencitai mereka dan sebaliknya merekapun mencintai-Nya.

Sedangkan pada benda-benda Allah tidak ada kecintaan pada semuanya kecuali kepada Batu (Baitullah) Ka’bah, “bibakkata mubarokan”.
إن أول بيت وضع للناس للذي ببكة مباركا وهدى للعالمين- ال عمران 96
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (Ali Imran: 96)

Singkatnya, keberkahan tidak memihak kepada benda-benda apapun jenisnya hanya baitullah sedangkan segala macam yang “dianggap keramat” oleh definisi sebagian orang penulis belum menmukan rujukannya. Ini berarti asumsi sementara tidak ada dalam term agama yang diajarkan pesantren.

Beda Rakhmat dan Berkah
Dalam ucapan salam: ada rakhmat dan berkah. Jika rakhmat curahan dan kasih sayang Allah akan dilmpahkan kepada siapapun. Namun keberkahan tidak segampang itu. Sebagai contoh:
orang yang haus, ia dapati air minum maka ia mendapatkan rakhmat. Ketika haus itu hilang menghadirkan ketenangan maka ia mendapat berkah.

Seorang ahli pemasaran dengan ilmunya ia berhasil meraup keuntungan yang luar biasa. Ia mendapat rakhmat. Namun belum tentu mendapat keberkahan karena rezeki yang diterima seringkali masih dianggap kurang. Ia dapat rakhmat tapi tidak mendapat berkah (limpahan kebaikan yang sinergis).

Berkah dilimpahkan di dunia untuk siapa saja, hatta kepada maling/koruptor sekalipun. Ia memperoleh rakhmat namun uangnya tidak membawa keberkahan.
Karenanya orang yang rajin dan bekerja ia pasti mendapat rakhmat berupa hasil kerjaanya baik gaji maupun kedudukan. Tinggal mencari keberkahannya. Namun orang yang malas dan tidak bekerja, ia tidak mendapatkan dua-duanya antara rakhmat dan bekarh.

Imam Al Qurthubi berpendapat dalam bukunya “tadzkiratul qurthubi” mengatakan bahwa orang non muslimpun mendapatkan rakhmat karena kehebatan usahanya dan keberkahannya akan diwariskan kepada orang muslim. Dari teori ini maka tidak masalah bergaul dengan non muslim dan tidak masalah saling bantu-membantu. Sebab keberkahan mereka akan mengalir kepada kita, sebab mereka tidak membutuhkan berkah.

Pengalaman Rohani
Sebagai penutup diskusi, bagaimana gambaran orang-orang di bawah ini yang dianggap mendapat berkah atau tidak.
  • Seorang guru yang sangat pandai membaca buku-buku ulama salaf dan hafal banyak hadits dan logis (ceta’) dalam menerangkan ilmu dalam setiap ceramahnya, produktif menulis bercerita bahwa ia mengaku ketika kecil, orangtuanya sering mendatangi para habaib dan murid-murid habaib yang ‘aliim untuk dimintai “berkah”. Dalam benaknya masih ingat, ia ditiup ubun-ubunnya dan dibacakan doa.

  • Kawan saya, Ust. Mahmud Syaltut bercerita ada suatu keluarga memiliki 4 orang anak. Dua anak serngkali dengan sengaja dibawa ke Buntet Pesantren dan sengaja mampir ke kyai-kyai sepuh, menurutnya mencari keberkahan. Dalam persaksiannya, dua anak yang sering dibawa ke kyai, prilakunya bertentangan jauh dengan dua anak yang lainnya yang tidak pernah dibawa kepada para kyai.

  • Tetangga penulis memiliki anak lebih dari 8 orang. Tanpa bermaksud menghina, dalam kesehariannya, hanya satu anak yang kontras tingkah lakunya dengan anaklainnya: Ia rajin dan aktif mengikuti kegiatan keagamaan, shalat 5 waktu di musholla hampir tidak pernah ditinggalkan, berprilaku sopan, sangat bebrayan dalam lingkungannya. Kecerdasannya melebihi adik kakaknya, diterima di UI tapi ia memilih kuliah di STAN. Ternyata dalam pengakuan orangtuanya, hanya satu anak inilah yang ketahuan lahirnya dan diadzani oleh sendiri. Sedangkan yang lainnya meragukan apakah diadzani atau tidak.
    Walalhu a’lam bishowab



Thursday, January 4, 2007

Adab Bepergian Para Pengamal Tasawuf



وَقَالَ إنّى ذاهِبٌ إلى ربّى سَيَهْدِينِ - الصافات: 99





Dan Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Aku pergi menghadap Tuhanku, dan dia akan memberi petunjuk kepadaku (Ashshoffaat:99)

Dalam setiap kesempatan sering­kali kita disapa oleh seorang teman/saudara: “Mau pergi kemana?” biasanya kita jawab: “mau pergi ke kantor”, “pergi ke pasar”, “pergi ke Mall” dll. Jawaban kita terbatas hanya menyebutkan tempat yang akan kita dituju tanpa menyebutkan keper­luan dan maksud tujuannya. Kadang­kala menybutkan keperluan setelah ditanya kembali: “Ngapain?” lalu kita jawab: “mau kerja”, “mau beli barang”, “Mau kondangan” dan seterusnya.

Menurut kacamata para pengamal tasa­wuf jawaban yang benar adalah yang kedua. Jadi jika ditanya mau pergi kema­na? Jawaban yang benar adalah (misalnya): “Mau silaturahmi ke Menteng!”, “Mau menghadiri penga­jian di Kali Pasir”, “Mau membeli sayur di Pasar”, atau “Mau menjemput tamu di Bandara!” dst. Inti dari jawab­an terse­but adalah sebisa mung­kin hindari kata “pergi”. Pertanyaan yang mesti dijawab adalah mengapa kata “pergi” jangan di­gu­nakan. Apakah dasar dari tun­tunan ini?

Pergi Menurut Nabi Ibrahim a.s.
Dari informasi ayat di atas (Ashoffat:99) Allah mengabarkan bah­wa Nabi Ibrahim as begitu pasrahnya kepada Allah se­hing­ga kata "pergi" yang digunakan di­sambung dengan kata Rabbi. Sesung­guhnya Aku pergi meng­­­­­hadap kepada Tuhanku, dan dia akan memberi petun­juk kepadaku." Menu­rut Ibnu Katsir, ayat ini berkaitan dengan pertolongan Allah kepada Nabi Ibrahim atas kejahat­an kaumnya dan atas mantapnya ke­iman­an nabi setelah melihat bukti-bukti kekua­saan-Nya. Sedangkan menurut para penafsir lain seperti dalam kitab tafsir Al Qurthubi, ucap­an kemantapan iman Nabi Ibrahim as itu terucap ketika mau ma­suk ke dalam api yang akan membakar­nya. Kata "pergi" menurut tafsir ini mengandung dua penger­tian: pertama, Sesung­guh­nya aku pergi me­nemui keten­­tuan Allah. Kedua, Se­sung­guhnya aku ini mati. Sebab beliau mem­ba­yang­kan akan pergi menemui kema­tian saat berada dalam api. Namun pa­da akhir­nya pertolongan Allah me­nye­­la­mat­­kan­ dari kobaran Api. Firman-Nya:

قل يانار كونى بردا وسلاما عـلى إبراهيم

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim".
(Al Anbiyaa: 69)

Dari uraian tafsir tersebut tampaknya, ungkapan kata "pergi" dipergunakan nabi Ibrahim as untuk menemui Allah. Pelajaran yang dapat diambil dari dho­hir ayat tersebut, kata "pergi" sebaik­nya digunakan untuk menghadap Allah de­ngan penuh kepasrahan yang bulat se­hing­ga seolah-olah siap untuk tidak kembali ke tempat asalnya. Jadi kata "pergi" yang dipergunakan oleh nabi Ibra­him as dalam ayat tersebut menu­rut Al Qurtubi adalah asal mula orang yang pertama kali ber uzlah dan berhij­rah. Uzlah dan hijrah hanya se­mata-mata Lillaahi ta'alaa dan boleh jadi kata "pergi" di sini ini siap secara bulat menuju ke alam akherat dan siap untuk tidak kembali lagi.

Jika kata "pergi" yang digunakan untuk bisa kembali lagi maka yang digunakan bukan dengan kata "pergi" namun ber­pindah tempat karena masih dalam ling­kup permu­kaan bumi. Istilah yang dipergunakan Al Qur'an adalah "ber­te­bar­an di muka bumi" sebagaima­na firman Allah:
فاذا قضية الصلوة فانتشروا فى الارض
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; (Al Jumu'ah: 10)

Singkatnya, jika kata "pergi" yang di­per­gu­na­kan untuk menuju ke tem­pat-tem­pat biasa, maka ung­kapan kata "pergi" kurang tepat diper­guna­kan. Se­bab me­nu­rut ilmu tata surya, ujud bumi diban­ding benda-benda langit sangat kecil sekali.

Pergi Menurut Nabi saw.
Dari informasi hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, yang ada di hampir semua kitab-kitab perawi hadits, ter­nya­ta ungkapan "pergi" yang dipergu­nakan untuk kehi­dupan di dunia hanya dibatasi untuk tiga tempat saja: perta­ma jika pergi ke Masjid Nabawi (Madi­nah); kedua, pergi ke Masjidil Haram (Mek­kah); dan ketiga, pergi ke Masjidil Aqsa (Palesti­na). Ketiga tempat ini me­nu­rut penda­pat pensyarah hadits dise­ ka­rena kemuliaanya. Disamping itu, masjid di Makkah dan Madinah, adalah tempat tu­juan orang ketika berhaji dan masjid ketiga pernah dijadikan qiblat shalat orang-orang terdahulu. Bunyi teks haditsnya sbb:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال: يبلغ به صلى الله عليه وسلم لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: مسجدي هذا ومسجد الحرام ومسجد الأقصى. - رواه البخاري ومسلم
Dari Abi Hurairah ra berkata: Rasulullah saw memberi pelajaran bahwa janganlah engkau bepergian kecuali kepada tiga tempat: masjidku ini, masjidil haram dan masjidil aqsa. (HR. Buchori – Muslim)

Menurut penjelas an Fathul Bari, maksud dari kalimat laa tusyaddu ar-rihaala adalah an-nahyu 'anissafari ilaa ghoirihaa larangan pergi kecuali ke tiga tempat yang disebut Nabi saw. Kata Illa (kecuali) dalam hadits tersebut dikenal dalam tata bahasa dengan istisna mufar­rogh. Dengan adanya kata illa, diguna­kan untuk menghususkan suatu pernya­taan dari kalimat yang bersifat umum. Karena itu maksud hadits nabi tersebut adalah: ”Janganlah pergi ke tiap-tiap tempat, atau larangan pergi ke seluruh tempat selain yang ditunjuk oleh Nabi. Ketiga tempat yang ditunjuk nabi itu ada tiga: Masjid-ku, Masjid Haram dan Masjidil Aqsa. Ketiga tempat ini men­dapatkan keisti­me­waan khusus dan karenanya menjadi obyek bepergian yang dibenarkan syariat.
Masjidil Haram Menurut kete­rangan Kitab Tuhfatul Ahwadi dan Fathul Baari, ”Haram” berarti ”muhar­ram” (yang dimulya­kan) seperti ungkapan ”kitaab” diartikan ”maktuub” (yang dibaca). Me­nurut para pensyarah ha­dits, masjid ini memiliki dikhususkan karena: Semua yang ada di dalamnya di­mul­­yakan; Ke­uta­­maan me­nger­jakan sha­lat di mas­jid ini melebihi tempat lain. Terdapat ka’bah di dalamnya. Me­nu­rut At Tabari dan Nasai yang diutama­kan tetap saja masjidnya, karena semua yang ada di dalamnya merupakan masjid.
Masjid Nabi (Madinah) Masjid ini khusus karena rasul mengatakan dalam riwayat Abi Sai’d meng­gunakan kata Masjidii (masjidku). Me­ng­isya­ratkan kepada keagungan Rasulullah saw. Masjidil Aqsa (Baitil Muqaddas, Palestina) Disebut masjid Aqsa karena jauh masanya dari Masjidil Haram atau menurut Imam Al Zamakh­sari dikarena­kan tidak ada masjid di belakangnya hingga saat ini. Ada juga yang berpen­dapat disebut aqsa disebab­kan masjid haram jauh dari masjid nabawi dan baitul muqaddas lebih jauh lagi. Disam­ping itu ketiga masjid ini merupakan masjid para nabi. Masdjil ha­ram dijadi­kan sebagai tujuan pergi haji dan kiblat shalat, masjid aqsa per­nah dijadikan kiblat shalat oleh umat sebelumnya. Sedangkan masjid Madinah merupakan peletak dasar ketaq­wa­an, yang disebut oleh Al qur’an sebagai ussisa ’alattaqwa.

Hukum Bepergian
Kitab Aunil Ma’bud menjelaskan sebagi­an ahli ilmu berpen­dapat bahwa tidak sah i’tikaf kecuali di salah satu dari ketiga masjid tersebut. Bahkan menurut Imam Abu Muham­mad Al Juwaini: “Haram hu­kum­nya pergi ke tempat lain kecuali me­nu­ju tiga masjid ini, karena mengamal­kan dhohir hadits.”
Menurut Imam Qustolani, para ulama berbeda pendapat jika pergi ke tempat-tempat lain seperti berziarah ke orang-orang shalih yang masih hidup/ mening­gal, dan tempat-tempat yang baik, karena hendak meng­ambil tabarruk. Namun Imam Juwaini tetap meng­ha­ram­­kan karena dhohir hadits. Yang Lebih shohih, menurut pandangan Imam Qustolani adalah pendapat Qodi Al Husain dan Qodi Iyadl Al Syafi’i hukumnya dibolehkan. Namun penga­rang Kitab Tuhfatul Ahwadzi, tidak ada dalil kebo­leh­an, perten­tangan hadits pun tetap tidak berdasar. Ungkapan لا تشد tetap menun­jukan kejelasan haramnya. Pengecualian hanya berlaku bagi orang yang bernadzar meski tanpa dalil. Wallahu’alam (MK)


Majelis Dzikir TQN Kalipasir, Senin, 17 April 2006


Sumber:
Tafsir Al Qurthubi, Ibnu Katsir, Fathul Bari, Aunul Ma’bud, Tuhfatul Ahwadzi, Shoheh Bukhori. Shoheh Muslim, Sunan At Turmudzi.